Minggu, 17 Januari 2021

HUTAN TANAMAN RAKYAT

 

Hutan Tanaman Rakyat komoditas sengon


HTR merupakan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau kelompok masyarakat dan koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

              Pada tahap pertama pembangunan hutan tanaman rakyat sebaiknya dipusatkan pada kawasan hutan produksi yang sudah disediakan untuk pembangunan HTI namun dalam kondisi terlantar atau tidak lagi dimanfaatkan. Untuk itu Departemen Kehutanan perlu melakukan kajian dan penilaian ulang secara lebih rinci terhadap status serta kondisi kawasan hutan produksi yang sudah ditetapkan atau dicadangkan untuk pembangunan HTI. Dari sekitar 9 juta hektar kawasan hutan produksi yang sudah disediakan untuk membangun HTI, sekitar 6 juta hektar belum ditanami atau tidak berhasil penanamannya.

  Oleh sebab itu, dari luas 6 juta hektar tersebut sekitar 60 % atau sekitar 3,6 juta hektar dapat disediakan bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk membangun hutan tanaman. Selebihnya, sekitar 2,4 juta hektar, dapat ditawarkan ulang kepada perusahaan (asing, nasional ataupun lokal) yang benar-benar berminat dan mempunyai kemampuan membangun HTI. Hutan tanaman rakyat tersebut dapat dikembangkan melalui pemberian hak pengusahaan atau ijin pemanfaatan hutan tanaman kepada perorangan maupun kelompok, termasuk koperasi masyarakat. Hutan tanaman rakyat juga sebaiknya dikembangkan dalam bentuk atau sebagai bagian dari hutan desa atau hutan adat.

  Hutan rakyat sudah lama berkembang di Indonesia, namun di setiap daerah istilah yang dipergunakan berbeda sesuai dengan bahasa daerahnya, misalnya kebun talun (Jawa Tengah), kombong (Tana Toraja), tembawang (Kaliman Barat), limbo (Kalimantan Timur). Perkembangan hutan rakyat menjadi lebih tertata sejak tahun 1952, yaitu pada saat lahirnya Gerakan Karang Kitri, yang diperkenalkan oleh Dinas Pertanian Rakyat. Gerakan tersebut adalah gerakan rakyat menanami tanah-tanah kosong dengan pohon-pohonan untuk melindungi tanah dari bahaya erosi. Kemudian sekitar tahun 1976 pemerintah melaksanakan program penanaman pohon pada lahan milik yang dikenal sebagai Program Penghijauan.

  Awalnya Program Penghijauan memang lebih ditekankan pada upaya penyelamatan (konservasi) hutan, tanah dan air, oleh sebab itu jenis tanaman yang dipilih lebih banyak ditentukan oleh pemerintah dan kurang disesuaikan dengan keperluan masyarakat, sehingga manfaat ekonomi program tersebut tidak banyak dirasakan langsung oleh masyarakat. Manfaat ekonomi dan manfaat sosial hutan rakyat baru mulai dirasakan saat ini setelah permintaan (demand) atas bahan baku kayu untuk industri tidak lagi dapat dipenuhi oleh pasokan (supply) kayu dari luar Jawa.

  Kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat, terutama di Jawa, sudah banyak dipergunakan untuk memenuhi permintaan bahan baku industri pengolahan kayu maupun bahan bakar berbagai industri rakyat di Jawa. Di beberapa Kabupaten produksi kayu hutan rakyat bahkan sudah melampaui volume produksi kayu Perum Perhutani. Di Kabupaten Ciamis misalnya, produksi kayu hutan rakyat mencapai 300 ribu m3 per tahun, sementara produksi kayu Perum Perhutani di kabupaten tersebut hanya sekitar 30 ribu m3 per tahun. Luas hutan rakyat di seluruh Indonesia saat ini ditaksir mencapai 1,5 juta hektar dengan potensi kayu sekitar 40 juta m3, yang sebagian besar berada di Jawa dengan potensi kayu mencapai 23 juta m3.

  Keberhasilan pembangunan hutan rakyat di Jawa ternyata tidak terlepas dari peran pemerintah melalui Program Penghijauan, di samping tentunya keswadayaan masyarakat. Oleh sebab itu, Departemen Kehutanan bersama Dinas di Provinsi dan 4 Kabupaten yang menangani urusan kehutanan harus terus mendorong tumbuhnya minat masyarakat untuk menanam pohon, melalui berbagai gerakan, seperti GERHAN, Indonesia Menanam maupun Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM).

Kawasan hutan negara di Jawa saat ini sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani. Luas hutan produksi yang dikelola Perhutani mencapai 1,8 juta hektar. Dalam hutan produksi tersebut sekitar 300 ribu hektar berupa lahan yang belum ditanami atau rusak akibat perambahan. Lahan hutan produksi yang gundul atau rusak tersebut sebetulnya dapat dikembangkan oleh Perhutani menjadi hutan tanaman melalui kerjasama dengan masyarakat di sekitarnya.

 

Kendala Pengembangan Hutan Tanaman Oleh Rakyat

 

  Berdasarkan pengalaman dalam pembangunan HTI dan hutan rakyat, berbagai kajian menunjukkan bahwa masalah utama yang dapat menghambat pembangunan dan pengembangan hutan tanaman oleh rakyat adalah sebagai berikut:

1.     Kawasan yang ditetapkan menjadi areal hutan tanaman tidak menjamin kepastian usaha, ditinjau dari sisi penguasaan lahan, jangka waktu pemanfaatan maupun pengalihan ijin pemanfaatan,

2.     Penetapan lokasi yang keliru dan tapaknya tidak sesuai dengan jenis yang ditanam menyebabkan tanaman berdaya hasil, biaya pembangunan tanaman menjadi mahal, atau kayu hasil tanaman sulit dipasarkan,

3.     Minat masyarakat untuk mengembangkan hutan tanaman umumnya rendah karena tanaman hutan memerlukan waktu cukup lama untuk siap dipanen,

4.   Kemampuan masyarakat untuk membangun dan mengelola hutan tanaman umumnya rendah, ditinjau dari sisi mutu sumberdaya manusia, peralatan, maupun pembiayaan untuk pembangunan tanaman,

5.    Kelembagaan masyarakat untuk melakukan usaha hutan tanaman masih lemah bahkan di banyak desa belum tersedia,

6.      Ketidakpastian pasar dan harga jual dari kayu hasil tanaman masyarakat,

Serangan hama-penyakit akibat pengembangan hutan tanaman sejenis dan kebakaran hutan akibat pembukaan lahan menggunakan cara pembakaran 


 

  Pencegahan Kebakaran Hutan Lebih  Dini Fenomena kebakaran hutan hampir setiap tahun terjadi di Indonesia. Dua tahun terakhir baru yang lal...